Dilansir dari women.okezone.com, pakaian adat suku Biak merupakan salah satu warisan budaya yang kaya makna dari wilayah Papua, khususnya Biak Numfor dan sekitarnya. Berbeda dengan pakaian modern, baju adat ini dibuat sepenuhnya dari bahan alami seperti kulit kayu pohon manduam, daun sagu muda, dan serat alam lainnya, mencerminkan keterkaitan erat masyarakat Biak dengan alam lingkungannya.
Secara tradisional, pakaian ini digunakan dalam upacara adat seperti Wor, pernikahan, dan Festival Budaya Biak Munara Wampasi, menjaga identitas leluhur di tengah arus modernisasi.
Untuk perempuan Biak, pakaian adat berbentuk two pieces dengan atasan menyerupai kemben yang dibalut erat di dada, sementara bawahan berupa rok rumbai panjang yang disebut Yomna atau Srei.
Rok ini terbuat dari pucuk sagu atau alang-alang yang dianyam rapi, memberikan kesan dinamis saat digerakkan dalam tarian tradisional. Pelengkap utama adalah asis, hiasan kepala dari kayu yang dibalut bulu ayam warna-warni, melambangkan identitas perempuan Biak dan wajib dipakai dalam kegiatan kemasyarakatan atau upacara adat.
Tubuh sering dilukis dengan motif flora-fauna menggunakan tinta alami, menambah nilai estetika dan spiritual.
Pakaian Pria: Eruk dan Koteka yang Gagah
Kaum pria mengenakan eruk atau cidaku, yang secara sederhana adalah cawat dari bahan alami untuk menutupi bagian bawah, sering dipadukan dengan koteka Biak dari buah labu tua yang dikeringkan dan diruncingkan.
Bagian tubuh atas dibiarkan terbuka atau dihiasi ukiran tubuh (tato sementara) dengan corak bermakna, seperti simbol kekuatan alam atau leluhur. Warna dominan merah dan kuning pada aksesori seperti kalung manik-manik, gelang taring babi, serta hiasan kepala bulu kasuari melambangkan keberanian dan kehangatan.
Makna Filosofis dan Pelestariannya
Pakaian adat Biak bukan sekadar busana, melainkan simbol harmoni dengan alam, status sosial, dan ikatan komunal, mirip dengan ben bepon (piring gantung) yang mengikat keluarga dalam adat Ararem.
Dalam upacara seperti Wor famarmar (pencawatan anak laki-laki) atau Sraikir Kneram (melobangi telinga anak perempuan), pakaian ini menjadi pusat ritual transisi kehidupan.
Meski tantangan zaman membuatnya mulai ditinggalkan generasi muda, upaya pemerintah Biak Numfor dan dewan kesenian terus memasyarakatkan penggunaannya untuk melestarikan identitas adat.
Penulis: Irene Pricilya Mussa
Editor: Juju